Selasa, 07 Desember 2021

Filosofi Angkringan : Pembeli itu Sahabat

Filosofi Angkringan : Pembeli itu Sahabat

Filosofi Angkringan : Pembeli itu Sahabatku
Di sebuah angkringan,  salah satu tempat yang kukunjungi sebelum sampai rumah, aku terhenti dari makanku. Ada perbincangan kecil yang menarik. Seorang pembeli mau membayar dan dengan mantapnya bilang, "Habis 10 ribu khan?" Si Penjual terdiam sejenak. Si Pembeli tersenyum dan bilang ndak usah kaget karena aku sudah menghitungnya dan pas.

Tak disangka Si Penjual terus menyahuti, yang intinya jualan di situ belum pernah menaikkan harga. Wajar kalau pelanggan pasti hapal harganya. Dia mengatakan bahwa para pembeli itu seperti teman. Gak enak juga ketika mereka bawa uang yang pas, ternyata ada harga yang lebih mahal maka jadi hutang. Sedikit-dikit untungnya gak papa. 

Aku sejenak menghentikan makanku lagi. Kok bisa ya berpikir begitu sederhana. Ya memang kurasakan, meski aku jarang ngobrol dengan orang, tapi kalau makan di angkringan terasa beda. Tak ada kastanisasi atau pembedaan. Bebas bicara dalam batas kesopanan. Meski tak perlu pakai bahasa krama seperti "kulo, inggih dan sejenisnya". Cukup inyong, oke, monggo, bebas baelah dan bahasa yang ringan seenaknya. Aku merasa sangat nyaman. Semoga begitu ya?

Ketika di angkringan, duduk sambil "mentangkring" pun ya sopan-sopan saja. Duduk dengan salah satu kaki naik kemudian dilipat di atas kursi, ditindihi kaki yang lain. Enak..nyantai. Dan bagi saya itu  gambaran keakraban "orang kota", seperti keakraban di desa-desa. Jagongan, ngopi, ngentir (baca : merokok) sambil mengobrol. 

Meski ada bedanya, ketika "jagongan" itu memang saling mengenal, ketika "ngangkring" belum tentu saling mengobrol karena memang tidak mengenal. Tetapi saya merasakan sama sekali tidak ada keterasingan meskipun hanya diam atau kadang "nimbrung" dengan enaknya ketika ada omongan yang ingin dikomentari.

Kadang juga hanya tersenyum, ketika ada seorang datang, kelihatannya temannya penjual angkringan itu. Saat ada pembicaraan mengenai jahe susu tapi dikasih es. Pembeli itu ingin mencoba tapi ragu-ragu. Akhirnya gak jadi. Aku senyum saja. Padahal dulu sering kalau jahe susu dikasih es sangat segerr sekali. Biarlah mereka memutuskan sendiri.

Angkringan bukan hanya jualan "nasi kucing", yang kata temenku kucing saja tidak doyan, tetapi jual berbagai hal dari bakwan bakar, sate rempelo ati, sosis, bahkan ada yang kolaborasi dengan bakso dan es  krim. Meskipun demikian semoga filosofi akringan dengan segala kesederhanaan tidak lekang oleh arus zaman.

Demikian juga para pembeli yang banyak dari kaum milenial, tidak menjadi "sombong" atau merasa memiliki kasta tertentu ketika sudah duduk di angkringan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Comments

Postingan Acak

Pengikut

Back To Top